Kamis, 18 Desember 2014

"Perempuan Tak Harus Selalu di Dapur"

      Tak terasa sudah 4 tahun 6 bulan lamanya aku menyandang status sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Bandung, aku tidak ingat akan lamanya waktu yang aku tempuh demi mendapatkan gelar S1. Ya, daya ingat ibuku memang selalu lebih kuat dibandingkan aku yang selalu lupa akan waktu. Aku bukanlah seorang anak cerdas, aku terlahir di tengah-tengah lingkungan yang tidak mengedepankan pendidikan, hanya segelintir orang yang memilih meneruskan ke jenjang pendidikan selebihnya ke jenjang pernikahan. Namun tidak dengan keluargaku yang sangat peduli dengan pendidikan.
    
      Lulus SMA adalah dilema untukku memustuskan antara kerja atau kuliah, aku bersikukuh dengan kerja, perdebatan dengan bapa selalu mewarnai suasana rumah setiap hari, tentunya bertentangan dengan keinginannya untuk aku melanjutkan kuliah. Namun keangkuhanku luntur dan aku memutuskan untuk kuliah semenjak bapa mengatakan “bapa dan mama gak bisa ninggalin harta buat kamu, kecuali ilmu.”, kata-kata itu masih berdengung ditelingaku sampai sekarang. Tidak banyak teman-temanku yang mendukung dengan keputusan ini, ada satu istilah yang paling benci aku dengar dan itu keluar dari mulut saudaraku dan orang-orang disekelilingku ketika aku memutuskan untuk kuliah “Ah ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh perempuan ujung-ujungnya ke dapur juga!” namun ucapan keraguan mereka tidaklah membuatku mundur, tapi menjadi semangat dan janjiku untuk membuktikan bahwa aku dapat hidup lebih baik dengan pendidikan, bukan hanya sekedar gengsi semata dan aku bertekad untuk mematahkan pandangan itu.  

      Selama kuliah aku tidak hanya diam menerima dan mengerjakan tugas saja, tapi aku mencoba untuk bersosialisasi dengan mengikuti berbagai kegiatan dengan tujuan mendapatkan teman baru dan tentunya jaringan baru untuk mengembangkan usahaku, aku bersyukur dengan apa yang telah aku dapatkan sekarang selain pendidikan aku juga bisa mengembangkan kemampuan dan keahlianku dalam bidang seni kerajinan dari pendidikan. Tak jarang aku selalu mendapat pesanan karya kerajinanku, menjadi materi workshop, dan menjual karya di bazar, mungkin memang hanya cukup untuk makan sebulan, namun setidaknya cukup mengikis biaya subsidi dari orang tua. Dan sepertinya aku sudah bisa mematahkan pandangan mereka tentang perempuan yang seharusnya, dan perempuan itu tidak harus selalu di dapur.